Berita Bansos Untuk Korban Judi Slot Online

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah akhirnya resmi membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Judi Online. Hal ini menjadi wujud upaya pemerintah untuk menghapuskan kegiatan ilegal yang semakin meresahkan tersebut.

Judi online telah terbukti merugikan pemainnya, bahkan dalam beberapa kasus bisa sampai merenggut nyawa. Keluarga atau orang-orang di sekitar pelaku bahkan bisa terdampak dan ikut merugi.

Seiring dengan itu, wacana pemberian bantuan sosial (Bansos) untuk “korban” judi online pun muncul dari pihak pemerintah. Usulan itu berasal dari Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy.

Alasannya, pelaku judi online maupun keluarganya berpotensi menjadi masyarakat miskin baru, sehingga perlu ditangani oleh pemerintah.

Baca juga: Tolak Wacana Penjudi Online Diberi Bansos, MUI: Berjudi Pilihan Hidup Pelaku

“Termasuk banyak yang menjadi miskin baru, itu menjadi tanggung jawab kita, tanggung jawab dari Kemenko PMK," ujar Muhadjir di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (13/6/2024).

Menurut Muhadjir, salah satu yang bisa dilakukan adalah memasukkan mereka ke data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS), agar menerima bansos dari pemerintah.

Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansah menilai usulan tersebut tidak tepat dan tak solutif. Pemberian bansos justru berpeluang membuat para penjudi daring merasa “aji mumpung”.

Di samping itu, pemberian bansos juga dikhawatirkan merusak upaya pemberantasan korupsi, termasuk juga penghapusan kemiskinan.

“Misalnya ada yang berpikir 'Kalau gitu kita judi terus saja, kalau menang dapat uang. Kalau kalah dapat bansos'. Misalnya begitu,” ujar Trubus saat dikonfirmasi Kompas.com, Sabtu (15/6/2024).

“Jadi itu merusak. Malah justru melanggengkan bansos itu sendiri. Dan tidak memutus kemiskinan," tegasnya.

Baca juga: Klaim Sudah Bantu Korban Judi Online, Menko PMK: Mereka Dimasukkan Jadi Penerima Bansos

Trubus berpandangan, seharusnya pemerintah fokus memberantas praktik judi online, dan memberikan sanksi tegas untuk pihak-pihak yang terlibat.

Bila perlu, lanjut Trubus, pemerintah menghukum mati para bandar judi online, seperti yang diterapkan kepada bandar narkoba.

“Harus tegas betul. Kalau enggak tegas, enggak bisa ini judi online diberantas. Karena sudah ditebas berkali-kali, sudah 2,1 juta aplikasi ditertibkan, setiap hari muncul lagi muncul lagi," pungkasnya.

Perlu dibantu agar bisa "survive"

Berbeda dengan Trubus, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman justru menganggap usulan Muhadjir layak dipertimbangkan untuk diterapkan sementara.

Dengan begitu, kebutuhan korban dapat terpenuhi untuk sementara waktu, tanpa harus bermain judi online demi mendapatkan uang.

“Karena memang kita harus melepaskan ketergantungannya korban tersebut dengan Judi online. Jadi kalau dia bisa survive artinya dia akan berkurang keinginannya mengadu nasib dengan bermain judi online,” ujar Habiburokhman.

Baca juga: Muhadjir: Tak Semua Korban Judi Online Bisa Terima Bansos, Itu Pun Baru Usulan Pribadi

Politisi Gerindra itu beranggapan, pemberian Bansos bisa menjadi pelengkap dari upaya pemberantasan judi online, sekaligus mengatasi dampak-dampak yang ditimbulkan.

“Ini penting untuk melengkapi tindakan penegakan hukum yang sekarang gencar dilakukan oleh Polri. Jadi dari hulu maupun hilir ini’.ditangani serius judi online ini. Jadi kami sepakat sekali,” kata Habiburokhman.

Meski begitu, Muhadjir menegaskan bahwa pemberian bansos untuk korban judi online baru sebatas usulan pribadi.

Wacana ini juga belum dibahas lebih lanjut bersama kementerian/lembaga terkait, terutama yang tergabung dalam, Satgas Pemberantasan Judi Online.

“Belum (dibahas bersama-sama). Itu baru usulan saya,” ujar Muhadjir saat dihubungi Kompas.com.

Muhadjir memastikan tidak semua korban judi online bisa dimasukan ke DTKS, untuk nantinya bisa menerima bansos dari pemerintah.

Baca juga: Satgas Pemberantasan Judi Online Dibentuk, Dipimpin Hadi hingga Muhadjir Effendy

Pemerintah akan tetap melihat kondisi perekonomian dari pihak yang terdampak judi online, apakah memenuhi kriteria sebagai penerima bansos.

“Memang tidak serta merta (dapat bansos). Biar jadi korban tetapi tidak memenuhi kriteria penerima bantuan, misalnya keluarga itu masih tetap kaya, ya tidak,” kata Muhadjir.

Muhadjir menambahkan, penindakan secara hukum terhadap pelaku atau pemain judi online tetap harus dilakukan. Namun, pihak keluarga yang jatuh miskin karena perbuatan pemain judi online patut dipertimbangkan untuk dibantu.

“Yang terlibat judi tetap harus ditindak. (Sedangkan) keluarganya yang jadi korban, yang miskin dan yang jatuh miskin harus diberi bantuan,” pungkasnya.

GAGASAN Menko PMK Muhadjir Effendy bahwa korban judi online boleh mendapatkan bantuan sosial (bansos) pada pertengahan Juni 2024 ini menuai kontroversi. Dari masyarakat biasa hingga Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Wapres Ma’ruf Amin angkat bicara.

Airlangga mengatakan korban judi online tidak tergolong kategori yang seharusnya mendapatkan fasilitas bansos. Tidak tersedia anggaran (APBN) untuk keperluan tersebut (Kompas.com, 14/06/2024).

Sementara Kiai Ma’ruf mengatakan, penerima bansos yang kedapatan menggunakan bantuan tersebut untuk berjudi, termasuk judi online, maka harus dicabut dari daftar penerima bantuan (Kompas.com, 21/06/ 2024).

Belakangan Menteri Muhadjir meralat ucapannya. Ia mengklarifikasi bahwa informasi yang beredar di media massa kurang lengkap dan dipotong-potong.

Menurut Muhadjir, mereka yang menjadi sasaran penerima bansos korban judi online bukan pelaku, melainkan pihak keluarga. Pelaku sudah jelas harus ditindak secara hukum karena itu pidana.

Muhadjir berpandangan, bansos tersebut akan membantu pihak keluarga yang menjadi korban perilaku judi online. Sebab, keluarga yang menjadi korban, khususnya anak dan istri.

Dia mengatakan, keluarga bukan hanya mengalami kerugian secara materi, tetapi juga kesehatan mental, bahkan sampai berujung kematian sebagaimana terjadi dalam banyak kasus (Kompas.com, 17/06/ 2024).

Tentunya kasus terakhir yang menghebohkan adalah seorang istri polwan (FN) yang membakar suaminya yang polisi juga (RDW) hingga tewas karena kesal sang suami menggunakan gajinya untuk judi online, di Mojokerto Jawa Timur pada 8 Juni 2024.

Saking seriusnya memerangi judi online, pemerintah membuat Satgas Pemberantasan Perjudian Online melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Online yang terbit di Jakarta 14 Juni 2024.

Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), sejak 17 Juli 2023 hingga 21 Mei 2024, tercatat 1.904.246 konten judi online dihapus (take down).

Kemudian, sebanyak 5.364 rekening dan 555 dompet elektronik yang terafiliasi dengan judi online sudah diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) untuk diblokir.

Selain itu, Kemenkominfo mencatat ada 14.823 konten sisipan terindikasi judi online di situs lembaga pendidikan serta 17.001 konten sisipan serupa di situs-situs pemerintahan (Kompas.com, 17/06/ 2024).

Pertanyaan kemudian, apakah memang layak korban judi online mendapatkan bansos secara selektif seperti gagasan Menteri Muhadjir?

Hans von Hentig (dalam John Dussich, 2009) menyebutkan dalam bukunya, "The Criminal and His Victim" bahwa ada taksonomi yang menggambarkan bagaimana korban bertanggung jawab atas kerugian yang mereka alami. Skemanya didasarkan pada psikologis, sosial dan faktor biologis.

Ia juga tertarik pada hubungan antara pelaku dan korban, yang disebutnya sebagai pasangan korban kriminal.

Pada tahun 1948, Hans von Hentig mengembangkan tiga kategorisasi korban sebagai berikut :

Pada akhirnya, Von Hentig memperluas kategorinya menjadi 13 kelompok orang yang rentan jadi korban, yakni kaum muda, perempuan, orang lanjut usia, orang dengan disabilitas mental dan penyakit jiwa, para imigran.

Kemudian kaum minoritas, para pembosan, orang yang depresi, orang yang serakah – acquisitive, orang yang ceroboh – wanton, mereka yang kesepian dan patah hati, sang penyiksa – tormentor, dan mereka yang diboikot, dikecualikan, atau diperangi.

Stephen Schafer (dalam Dussich, 2009) di dalam bukunya "Victim and His Criminal" berfokus pada interaksi antara korban dan pelaku dan mengembangkan taksonomi berdasarkan tanggung jawab fungsional korban atas kejahatan tersebut sebagai berikut :

Bappenas (2014) menyebutkan bahwa program bantuan sosial memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial melalui pengurangan kemiskinan.

Bantuan yang diberikan dalam program bantuan sosial tidak bergantung kepada kontribusi dari penerima manfaatnya—seperti pada program asuransi sosial.

Bantuan sosial dapat diberikan secara langsung dalam bentuk uang (in-cash transfers), juga dalam bentuk barang dan pelayanan (in-kind transfers).

Setiap bantuan bisa bersifat sementara karena terjadinya situasi sosial tertentu: bencana, resesi ekonomi, atau kebijakan pemerintah tertentu.

Selain itu, bantuan juga dapat bersifat tetap khususnya bagi penduduk yang mempunyai kerentanan permanen: penyandang disabilitas, lanjut usia, dan anak telantar.

Menurut International Labour Organization (ILO), skema bantuan sosial bertujuan menyediakan sumber daya minimum bagi individu dan rumah tangga yang hidup di bawah standar penghasilan tertentu, tanpa mempertimbangkan aspek kontribusi dari individu dan rumah tangga penerimanya.

Penentuan penerima bantuan umumnya dilakukan berdasarkan tingkat pendapatan penduduk serta kriteria sosial ekonomi lainnya.

Skema bantuan sosial dapat difokuskan kepada kelompok target tertentu (seperti keluarga miskin dengan anak hingga penduduk lanjut usia dengan penghasilan yang terbatas). Bisa juga diberikan sebagai bantuan pendapatan secara umum bagi pihak yang membutuhkan.

Purwowibowo dan Hendijanto (2019) menyebutkan bahwa konsep kesejahteraan sosial dapat dimaknai dari dua sisi.

Pertama dalam arti sempit, diartikan sebagai bantuan finansial dan layanan-layanan lainnya bagi golongan masyarakat yang kurang beruntung.

Kedua, diartikan sebagai bentuk upaya intervensi sosial primer dan langsung dalam meningkatkan taraf kesejahteraan sosial individu dan masyarakat secara luas.

Pada UU No.11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, bantuan sosial dikategorikan sebagai bagian dari perlindungan sosial.

Perlindungan sosial sendiri dimaksudkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal (Pasal 14 ayat 1 UU Kesejahteraan Sosial).

Peraturan Menteri Sosial No.1 tahun 2019 tentang Penyaluran Belanja Bantuan Sosial di Lingkungan Kementerian Sosial menyebut bahwa Penerima Bantuan Sosial adalah seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat miskin, tidak mampu, dan/atau penyandang masalah kesejahteraan sosial.

Bantuan sosial yang diberikan kepada Penerima Bantuan Sosial tidak untuk dikembalikan dan diambil hasilnya (Pasal 5 ayat 2 Permensos Bantuan Sosial).

Dalam Pasal 6 Permensos No. 1 tahun 2019 tersebut menyebutkan bahwa bantuan sosial diberikan dalam bentuk: a. uang; b. barang; dan/atau c. jasa. Bantuan sosial dalam bentuk uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a disalurkan secara nontunai, terkecuali untuk kelompok tertentu seperti : a. penyandang disabilitas berat; b. lanjut usia terlantar non potensial; c. eks penderita penyakit kronis non potensial; d. komunitas adat terpencil (KAT); dan/atau e. daerah yang belum memiliki infrastruktur untuk mendukung penyaluran Bantuan sosial secara non tunai.

Selain bantuan sosial yang dikecualikan, dapat juga diberikan secara tunai kepada: a. lanjut usia potensial; b. lanjut usia tidak potensial; c. anak yang memerlukan/membutuhkan perlindungan khusus; dan/atau d. daerah yang telah memiliki infrastruktur namun tidak dapat digunakan karena akibat bencana.

Klasifikasi penerima bantuan sosial adalah : a. perorangan; b. keluarga; c. kelompok; dan/atau d. masyarakat, dengan kriteria masalah sosial sebagai berikut : a. kemiskinan; b. keterlantaran; c. kedisabilitasan; d. keterpencilan; e. ketunaan sosial atau penyimpangan perilaku; f. korban bencana; dan/atau g. korban tindak kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (Pasal 12 Permensos No. 1/ 2019).

Layakkah korban judi online mendapatkan bansos?

Pertama-tama harus diklarifikasi siapa pelaku dan siapa korban dalam suatu aktifitas judi online.

Mereka yang berstatus dewasa, yang melakukan secara sadar, tanpa paksaan dan memiliki niat dan melaksanakannya sekaligus (mens rea dan actus reus) tentunya adalah pantas disebut sebagai pelaku. Walaupun posisinya bisa bervariasi tergantung perannya.

Pasal 55 KUHP Indonesia menyebutkan bahwa pelaku yang melakukan (pleger), menyuruh melakukan (doen pleger), turut serta melakukan (medepleger), dan menganjurkan atau menggerakan melakukan (uitlokker), dipidana sebagai pembuat (dader).

Sementara itu KUHP baru (UU No. 1 tahun 2023) yang akan berlaku pada tahun 2026 menyatakan sebagai berikut : (Pasal 20) Setiap orang dipidana sebagai pelaku tindak pidana jika: melakukan sendiri tindak pidana; melakukan tindak pidana dengan perantaraan alat atau menyuruh orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan; turut serta melakukan tindak pidana; atau menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana dengan cara memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, melakukan kekerasan, menggunakan ancaman kekerasan, melakukan penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.

Apabila memenuhi kriteria delik di atas tentunya pelaku judi online adalah sebenar-benarnya pelaku dan bukan korban.

Walaupun bisa saja mereka melakukannya karena tekanan ekonomi, kebutuhan keluarga, atau karena terjerat hutang.

Sedangkan korban, tingkatannya- pun bervariasi. Ada yang sama sekali tak berpartisipasi (innocent victims dan unrelated victims) dalam kejahatan judi online dari sang pelaku (katakanlah suami atau ayah dalam suatu keluarga).

Ada yang memiliki peran minimal (minor) ataupun sama besar dengan sang pelaku. Misalnya anggota keluarga yang turut mem-provokasi (provocative victims) atau turut menyebabkan (precipitative victims) sang pelaku untuk melakukan judi online.

Atau ada juga korban yang memang secara sosial budaya terposisikan sebagai lemah (socially weak victims) dalam tipologi Stephen Schafer maupun Hans von Hentig seperti kaum Perempuan (terutama yang miskin dan jauh dari akses kekuasaan), anak-anak dan kaum lansia.

Viktimisasi akibat judi online akan bertambah lagi (multiple victimization) ketika mereka juga sekaligus adalah minoritas dan memiki disabilitas, baik mental maupun fisik.

Maka gagasan Menteri Muhadjir ada salah dan ada benarnya. Disebut salah ketika (rencana) pemberian bansos dilakukan secara serampangan, tanpa melihat posisi kasusnya, tanpa melihat situasi dan pola kejahatan judi online-nya, dan tanpa memandang peran korban dalam kejahatan tersebut (victims precipitation).

Disebut benar ketika korban adalah semata-mata memang korban sebenarnya yang innocent (tak bersalah) dan tak berkontribusi dalam judi online tersebut (unrelated victims).

Ditambah lagi karena mereka memang miskin dan akan menjadi semakin miskin dan sulit hidupnya karena salah satu anggota keluarga (misalnya sang ayah atau suami) terlibat dalam judi online.

Sehingga, yang menjadi fokus utama pemberian bansos di sini adalah karena memang mereka miskin dan tak punya akses dan sumber daya memadai untuk meningkatkan kesejahteraannya ke taraf yang minimal.

Di sinilah bansos dapat menjadi alternatif untuk kelompok dengan syarat-syarat seperti itu.

Suara.com - Masyarakat Indonesia baru – baru ini dihebohkan dengan dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy yang menyebut bahwa “korban” judi online bakal dimasukkan dalam daftar penerima bantuan sosial atau bansos.

Lagi–lagi, untuk menumpas perjudian ini, Indonesia tampaknya perlu belajar dari dua negara tetangga, Malaysia dan Singapura. Jika dibandingkan, hukuman pelaku judi online di Malaysia dan Singapura jauh lebih serius.

Hukuman Pelaku Judi Online di Malaysia

Sebagai negara dengan mayoritas penduduk kaum muslim, Malaysia memberlakukan hukuman yang ketat bagi pelaku judi online.

Baca Juga: Menko Airlangga Tegaskan Belum Ada Anggaran Bansos Korban Judi Online

Dalam rencana anggaran 2020 untuk Malaysia, Menteri Keuangan mengumumkan peningkatan hukuman bagi penjudi ilegal dan operator perjudian.

Hukuman maksimum bagi mereka yang berjudi secara ilegal meningkat 20 kali lipat, dari RM5000 menjadi RM100.000, dan hukuman penjara minimum 6 bulan diperkenalkan. Jika dirupiahkan, nominalnya menjadi Rp350.000.000 ditambah dengan hukuman penjara.

Islam menjadi agama yang dominan, Malaysia juga mengakui hukum Syariah dan pengadilan Syariah dalam penanganan kasus perjudian ini. Namun etnis non-Melayu seperti China dan India tidak terikat oleh hukum Syariah tetapi oleh sistem hukum sekuler. Semua bentuk perjudian dilarang berdasarkan hukum Syariah.

Hukuman Pelaku Judi Online di Singapura

Sama seperti di Negeri Jiran, Singapura juga menerapkan hukuman yang ketat untuk pelaku judi online. Hukuman di Negeri Singa ini dimulai dengan denda minimal SGD 200.000 namun bisa meningkat menjadi SGD 500.000 tergantung dari jenis judi online yang dimainkan.

Baca Juga: Menkominfo Curhat Efek Negatif Judi Online: Korban Terbesar Adalah Kaum Perempuan

Dengan demikian, jika satu pelaku terbukti berjudi dia harus membayar setidaknya Rp2.400.000.000. Nilai denda akan meningkat untuk pelaku yang sama jika melakukan judi online untuk kedua ketiga dan seterusnya.

Di samping denda, pemerintah juga memberlakukan hukuman penjara. Hukuman penjara dimulai dengan rentang lima tahun jika menjadi tersangka perjudian untuk pertama kalinya.

Apabila tersangka berjudi untuk pertama kalinya, maka hukuman yang dikenakan minimal adalah lima tahun. Tersangka yang sama bisa dikenakan hukuman mulai sepuluh tahun penjara untuk judi kedua dan seterusnya.

Ketegasan hukuman ini berbeda dengan di Indonesia. Alih – alih memberantas akar masalah judi online, pemerintah justru menyebut para “korban” layak mendapatkan bantuan.

Padahal, judi online sudah membawa dampak berat bagi masyarakat, mulai dari lilitan utang, hingga cekcok rumah tangga yang menyebabkan seorang istri membakar suaminya setelah ketahuan menjadi pemain judi online.

Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah mewacanakan bantuan sosial (bansos) yang ditujukan kepada keluarga korban pelaku judi daring (online). Menurut Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono, pemberian bansos itu semestinya melalui syarat-syarat yang ketat.

Di antaranya adalah, keluarga korban judi online telah dipastikan benar-benar jatuh miskin. Yusuf memandang, penyediaan bansos untuk mereka yang masih mampu tidak akan efektif menanggulangi dampak dari perbuatan ilegal tersebut.

Kemudian, lanjut dia, pelaku judi online terlebih dahulu menjalani rehabilitasi. Setelah yang bersangkutan dinyatakan sembuh dari kecanduan judi, barulah kemudian para anggota keluarganya dianggap layak mendapatkan bansos.

"Hanya dengan dua syarat ini keluarga korban judi online dibolehkan menerima bansos," ujar Yusuf Wibisono kepada Republika, Selasa (18/6/2024).

Selama pelaku judi belum menjalani rehabilitasi dan dinyatakan sembuh, menurut Direktur IDEAS ini, keluarganya tidak dibenarkan menerima bansos, semiskin apa pun mereka. Sebab, ada kemungkinan bansos itu digunakan untuk bermain judi lagi. Maka dari itu, Yusuf menegaskan, penting sekali bagi negara untuk memastikan kebijakan bansos tepat sasaran.

"Jika keluarga korban judi online menerima bansos, sedangkan pelaku tidak menjalani rehabilitasi dan belum dinyatakan sembuh dari kecanduan, maka bansos justru akan menjadi bagian dari ekosistem judi online. Ini membuat judi online akan semakin subur," katanya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mewacanakan pemberian bansos untuk para "korban" judi online. Mantan menteri pendidikan itu menjelaskan, mereka yang menjadi sasaran penerima bansos ini bukanlah pelaku, melainkan pihak keluarganya. Mereka inilah yang nantinya akan dimasukkan ke dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

"Kalau pelaku, sudah jelas harus ditindak secara hukum karena (judi online) itu pidana. Nah, yang saya maksud penerima bansos itu ialah anggota keluarga, seperti anak istri/suami," kata Muhadjir usai mengikuti shalat Idul Adha di halaman Kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Senin (17/6/2024).

Menurut dia, kebijakan demikian diambil lantaran keluarga, khususnya anak dan istri (atau suami) si pelaku judi, tidak hanya mengalami kerugian secara materiel, melainkan juga kesehatan mental. Banyak kasus menunjukkan, adanya anggota keluarga yang kecanduan judi online berujung pada kematian, baik pembunuhan maupun bunuh diri.

"Kondisi yang ditimbulkan itu menjadi tanggung jawab pemerintah, khususnya kami Menko PMK. Dalam mekanisme pemberian bansos kepada keluarga yang terdampak judi online ini, akan kami bahas dengan Menteri Sosial," kata dia.

Sebelumnya, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menjelaskan korban judi online adalah mereka yang tergolong bukan pelaku.

Mereka yang layak disebut korban adalah keluarga atau individu terdekat dari para penjudi yang dirugikan baik secara material, finansial maupun psikologis. Artinya, korban judi online tersebut dapat masuk dalam kategori penerima bantuan sosial (Bansos). Lantas bagaimana plus minusnya pemberian wacana bansos bagi korban judi online?

Pengamat Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengatakan, jika semua korban judi online dapat bansos anggaran APBN akan membengkak.

"Jika semua pemain judi online mendapatkan bansos ya anggaran akan membengkak dan cenderung tidak tepat sasaran. Akhirnya akan merugikan negara dan pembayar pajak," kepada Liputan6.com, Selasa (18/6/2024).

Menurut dia, jika Pemerintah memperluas penerima bansos salah satunya korban judi online, dalam jangka panjang akan membentuk karakteristik Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak berkualitas, karena dengan mereka melakukan “pelanggaran” mereka mendapatkan bansos.

Ia menjelaskan, sebenarnya sudah jelas judi secara aturan dilarang oleh negara. Jadi ketika mereka dengan sadar mereka melakukan judi online, artinya mereka melanggar aturan yang memang diatur oleh negara.

"Mereka tidak bisa disebut korban. Kecuali mereka ditipu dengan dalih investasi yang ternyata itu judi online, itu bisa jadi disebut korban. Tapi mereka memainkan judi slot ya enggak," ujarnya.

Kemudian, soal penerima bansos. Kriteria bansos itu bukan dia pemain judi apa bukan, tapi mereka masuk dalam kategori miskin atau tidak. Jika ditambah dengan syarat “bukan pemain judi online” ya harus dibuktikan secara data. Jangan sampai tambahan karakteristik/syarat itu menjadi celah bagi memainkan data penerima bansos.